Peran Kita dalam Mendukung Palestina

Jakarta, 1 Juni 2024 – Pusat Studi Al-Quran yang didirikan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab bekerja sama dengan Masjid Istiqlal menggelar forum diskusi bertajuk “Peran Kita dalam Mendukung Palestina” pada Sabtu, 1 Juni 2024, dari pukul 09.00 hingga 11.30 WIB, bertempat di Aula Masjid Istiqlal Jakarta. Diskusi terbatas tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional seperti Prof. Dr. M. Quraish Shihab (Pendiri PSQ), Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal), KH. Ulil Abshar Abdalla (Ketua PBNU), Abdul Kadir Jailani (Dirjen Asia Pasifik Kemenlu), Savic Ali (Pendiri Islami.co/Tokoh Muda NU), Kalis Mardiasih (Aktivis Gender), Adrian Perkasa (Sejarawan/Akademisi), Habib Husein Ja’far (Dai Milenial), Faried F. Saenong (Dewan Pakar PSQ) dan beberapa tokoh lainnya.

Dalam diskusi yang dipandu tokoh pendidikan Indonesia, Najelaa Shihab, ditekankannya pentingnya semua pihak turut memainkan perannya dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina meraih perdamaian dan kemerdekaannya. “Apa pun profesi kita, di mana pun kita, saya kira kita sudah sadar betul, kita semua punya peran untuk mendukung Palestina,” kata Najelaa. Ia mengajak masyarakat untuk memahami konflik ini secara lebih mendalam dan tidak terjebak dalam miskonsepsi yang ada. “Menghentikan perang di Palestina adalah tanggung jawab kita semua. Ambil peran dalam mendukung perdamaian Palestina,” tegasnya.

Dalam rangka memperjelas akar konflik Palestina-Israel ini, Ketua PBNU yang juga Dewan Pakar PSQ, Ulil Abshar Abdalla, menjelaskan beberapa mitos yang selama ini disebar oleh Israel dan pendukungnya dan dijadikan alasan untuk terus menindas rakyat Palestina. Yang pertama, menurut Ulil, mitos bahwa sebelum Israel datang ke jazirah arabia, Israel adalah tanah kosong tak berpenghuni. Padahal sejarah menunjukkan, bangsa Palestina telah menempati wilayah tersebut selama berabad-abad. “Beberapa politisi penting Israel menggambarkan Palestina sebelum berdirinya negara Israel sebagai tanah kosong. Ini mitos yang dibangun Israel bertahun-tahun,” jelas Ulil. Mitos kedua, rakyat Palestina lebih memilih perang daripada jalan damai. Padahal situasi sebenarnya adalah Palestina sebagai pihak yang terampas tanah airnya berusaha membela diri dari aneksasi Israel. Ulil menekankan pentingnya mengedukasi masyarakat tentang sejarah yang sebenarnya untuk melawan narasi menyesatkan yang disebarkan Israel. “Menghentikan perang ini membutuhkan pemahaman yang benar tentang sejarah dan peran kita dalam mendukung Palestina,” katanya.

Selain mitos, berkembang juga miskonsepsi yang beredar di banyak kalangan terkait konflik Israel-Palestina. Soal inilah yang disoroti Abdul Kadir Jailani. Diplomat senior ini menekankan, konflik Palestina-Israel bukanlah konflik agama. “Miskonsepsi bahwa Palestina dan Israel adalah konflik agama sangat menyesatkan. Ini sebenarnya adalah konflik penjajahan,” tegasnya. Ia juga menjelaskan pentingnya solusi dua negara sebagai jalan yang paling realistis untuk perdamaian.

Sebagai seorang pendakwah milenial yang aktif di dunia digital, Habib Husein Ja’far, menyoroti pentingnya peran media sosial dalam memperjuangkan isu Palestina. “Era digital di mana anak muda menjadi mayoritas membawa arah baru dalam melihat pandangan terhadap segala masalah,” katanya. Habib Husein juga menggarisbawahi pentingnya kampanye yang tidak hanya emosional tetapi juga rasional untuk mendukung perjuangan Palestina. Sekaligus Habib Jafar mendorong kreasi dalam membentuk kanal-kanal dukungan yang juga efektif selain yang sudah berjalan selama ini berupa donasi, boikot, hingga demonstrasi. Misalnya, gerakan di media sosial yang kreatif, aplikasi kawal isu Palestina yang juga menjawab propaganda-propaganda dan mispersepsi tentang Palestina, dan lain-lain. “Ambil peran dalam mengedukasi dan menyuarakan kebenaran melalui media sosial untuk menghentikan perang,” tambahnya.

Di sisi lain, Faried F. Saenong dari lembaga pendidikan menekankan pentingnya edukasi dalam mendukung Palestina. “Dalam konteks dakwah di masjid dan kampus, dukungan pada Palestina harus dilakukan dengan edukasi yang mencerahkan masyarakat,” ujarnya. Faried juga menyoroti pentingnya memilih isu-isu yang mudah melibatkan banyak pihak, seperti isu perempuan dan kemanusiaan.

Aktivis yang juga Pengurus PBNU, Savic Ali, mengungkapkan tantangan dalam mengorganisasi gerakan untuk Palestina di Indonesia. “Kita menyaksikan belum ada organisasi yang secara aktif merespon isu ini. Pengorganisasian dan leadership sangat diperlukan,” katanya. Ia menekankan perlunya sinergi antara gerakan masyarakat sipil dengan pemerintah. “Menghentikan perang di Palestina memerlukan sinergi yang kuat dari semua elemen. Mari ambil peran dan berkolaborasi,” ujarnya.

Dari kaca mata seorang feminis dan aktivis sosial, Kalis Mardiasih, menyoroti pentingnya penerjemahan dan penyebaran informasi mengenai Palestina. “Gerakan perempuan sangat berperan dalam penerjemahan untuk Palestina. Sayangnya, isu ini masih terkesan elit karena masalah bahasa dan latar belakang pendidikan. Sebelum 1948, kelas pekerja aktif membela Palestina, dan gerakan perempuan kini sangat besar karena serangan terhadap tubuh adalah masalah semua orang,” ujarnya. Kalis menekankan pentingnya reproduksi pengetahuan dan penyebaran informasi dari sumber yang tidak bias untuk melibatkan lebih banyak orang. “Optimisnya, generasi muda di media sosial seperti Twitter semakin terlibat dalam isu ini. Saya juga berharap partisipasi pihak-pihak yang punya akses lebih seperti penerbit besar, gerakan pendidikan, dan komunitas literasi,” tambahnya.

Fenomena boikot menjadi sorotan Adrian Perkasa. Menurutnya, boikot di Eropa sebagai bentuk dukungan nyata terhadap Palestina ternyata cukup efektif dan berdampak negatif pada beberapa perniagaan yang diduga mendukung Israel. “Boikot di Belanda dan negara Eropa lainnya berdampak signifikan terhadap toko-toko ritel yang mendukung Israel. Pada musim panas nanti, saya sebagai koordinator konferensi Asian studies terbesar di Leiden, akan membuka Late Breaking Proposal sebagai upaya mengangkat isu konflik Israel-Palestina, yang mendapat sambutan hangat dari banyak pakar, terutama dari Timur Tengah. Kita harus terus menyuarakan isu Palestina,” ujarnya. Adrian juga menekankan bahwa Palestina adalah bagian dari Asia Barat, sehingga penting bagi akademisi di Barat untuk tidak memisahkan isu ini dari konteks Asia. “Ambil peran dalam boikot dan terus suarakan isu Palestina untuk menghentikan perang,” tegasnya.

Dalam kesempatan tersebut, M. Quraish Shihab, pendiri Pusat Studi Al-Qur’an, memberikan refleksi mendalam tentang makna dukungan terhadap Palestina. Ulama terkemuka Indonesia ini menegaskan, konflik Palestina-Israel ini jelas bukan konflik agama, dan apabila penindasan terhadap Palestina itu berlanjut, tidak hanya akan membahayakan bangsa Palestina, tapi juga merupakan ancaman serius bagi kemanusiaan, kebebasan, dan kemerdekaan banyak bangsa di dunia ini. Pendiri PSQ ini yang biasa disapa Abi Quraish ini menyatakan, “Dukungan kita kepada Palestina bukan hanya karena kesamaan agama, tetapi lebih kepada kemanusiaan. Kita harus melihat bahwa di sana ada hak-hak dasar yang dilanggar dan kita memiliki kewajiban moral untuk mendukung keadilan. Mari ambil peran dalam mendukung kemerdekaan Palestina dan menghentikan perang,” ujarnya.

Diskusi ini diakhiri dengan ajakan kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk terus mendukung perjuangan rakyat Palestina melalui berbagai cara, termasuk edukasi, kampanye media sosial, dan aksi nyata di lapangan. Semua peserta sepakat bahwa dukungan terhadap Palestina adalah bagian dari tanggung jawab kemanusiaan yang harus terus diperjuangkan. “Menghentikan perang di Palestina adalah tugas kita semua. Ambil peran dan dukung perjuangan ini demi kemanusiaan,” tutup acara tersebut.