Politisi Harus Tahu Arah dan Punya Akhlak – M Quraish Shihab

JAKARTA, Islamic Book Fair 2023 – Istora Senayan

Hadir sebagai narasumber, Dr Lukman Hakim Saifuddin (Menag 2014 – 2019) dan Sekum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti, M.Ed. Rilis dihadiri ribuan pengunjung yang memadati Istora Senayan, Jakarta.

Prof Quraish mengatakan, pembahasan Islam dan politik, harus diawali dengan pemahaman tentang dua kata tersebut. Sebab, perdebatan sering terjadi karena adanya perbedaan dalam pemaknaan.

Menurutnya, politik dalam bahasa Arab disebut siyasah. Siyasah terambil dari kata saasa-yasuusu-saa’is (pengendali). Orang yang berpolitk itu mengendalikan sesuatu.

“Sebagai pengendali, saa’is harus tahu tujuan. Kalau ada rintangan, dia bisa menghindar untuk mengantar ke tujuan,” sebut Prof Quriash di Jakarta, Kamis (21/9/2023).

“Dalam Islam, orang yang berpolitik atau politisi harus tahu arahnya ke mana. Dia juga harus tahu mengendalikan kendaraannya untuk mencapai tujuan. Jadi pengetahuan perlu, arah perlu, akhlak juga perlu,” sebutnya.

“Politik harus tahu bagaimana mengendalikan, tahu arah, dan harus punya akhlak,” lanjutnya lagi.

Prof Quraish mengatakan, siyasah (politik) mempunyai pengertian yang hampir sama dengan hikmah. Dalam Al-Quran tidak ada kata siyasah, tapi ada kata hikmah.

“Hukum menghalangi orang untuk mengantarkannya pada keadaan yang baik. Politik atau siyasah menghalangi orang dari kerusakan untuk mengantarnya pada kebaikan,” lanjutnya.

 

Mencerahkan

Prof Abdul Mu’ti mengapresiasi terbitnya buku Islam & Politik karya MQS. Ada tiga alasan yang dikemukakan Prof Mu’ti.

Pertama, buku ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, mengalir, dan mencerahkan. “Selalu ada yang baru, termasuk berbagai hal yang selama ini tidak kita temukan dalam kajian keislaman, termasuk di perguruan tinggi,” kata Prof Mu’ti.

“Banyak peristiwa yang tidak tertulis dalam literatur, Prof Quraish bisa menghadirkan dan membuat kita terhenyak,” sambungnya.

Prof Mu’ti mencontohkan penjelasan penulis buku ini tentang ‘agama adalah politik dan politik adalah agama’. Menurutnya, di tengah upaya sebagian pihak untuk memisahkan antara agama dan politik, Prof Quraish justru menjelaskan tidak ada pemisahan antara Islam dan politik serta agama dan politik.

“Tapi tentu politik sebagai makna yang mengandung pengertian keadaban. Politik sekarang sudah mengalami distorsi makna dan pergeseran yang orang memandang politik sebagai sesuatu yang negatif,” jelasnya.

“MQS menjelaskan pengertian dengan kajian bahasa arab secara luar biasa, apa makna siyasah. Beliau mendekatkan antara siyasah dan hikmah. Siyasah tidak sekedar partai politik tapi segala hal yang berkaitan hajat hidup umat manusia dalam kehidupan bernegara,” lanjutnya.

Kedua, Prof Quraish dalam bukunya menjelaskan istilah kunci dalam politik dan pemerintahan yang selama ini masuk wilayah ikhtilaf. Istilah kunci itu adalah khalifah.

“Khalifah mengandung pengertian tanggung jawab umum bagi siapa saja untuk memakmurkan bumi. Ini tugas yang diemban semua manusia,” kata Prod Mu’ti.

“Ada juga khalifah dalam pengertian tugas yang melekat pada orang tertentu. Misalnya Nabi Dawud yang juga adalah seorang raja,” katanya lagi.

Menurut Prof Mu’ti, pemerintahan itu penting. Kepemimpinan juga penting. Tapi, bagaimana bentuk pemerintahan itu wilayah ijtihad. Manusia punya kewenangan untuk menentukan bentuk negaranya, siapa pemimpinnya.

“Umat Islam tidak perlu mempersoalkan Pancasila. Sebab itu wilayah ijtihad yang kita punya kewenangan untuk menentukannya,” ucapnya.

Ketiga, pesan buku ini sangat relevan dan kontekstual dengan kondisi Indonesia. Prof Mu’ti melihat, politik kotor terjadi karena mengalami distorsi dan dipisahkan dari akhlak

“Politik hubungannya dengan keadaban dan akhlak. Politik dalam konteks penyelenggaraan negara untuk kemaslahatan umum, tidak boleh untuk maslahat personal,” sebut Prof Mu’ti.

Politik Mulia

Apresiasi atas terbitnya buku Islam & Politik juga disampaikan Lukman Hakim Saifuddin. Menurutnya, buku karya Prof Quraish telah memperkaya referenai tentang makna politik.

Pria yang akrab disapa LHS ini mengatakan bahwa politik itu mulia. Sebab, politik adalah ikhtiar bersama untuk mengatur kehidupan bersama di tengah keragaman aspirasi.

Soal relasi Islam dan politik, yang kemudian dikaitkan dengan politisasi agama, LHS menggarisbawahi pentingnya mendudukkan Islam dalam ranah politik. LHS menjelaskan bahwa ajaran agama bisa dipilah dalam dua kategori, ushuly dan furu’iy.

Ajaran ushuliyah bersifat universal. Karenanya, semua orang meyakini itu sebagai kebenaran dan tidak ada keraguan di dalamnya. Ajaran ini misalnya terkait memanusiakan manusia, menegakkan keadilan, persamaan di depan hukum, jangan mencuri, jangan berbohong, dan lainnya.

“Ajaran partikular atau furu’iyah, bahkan oleh satu pemeluk agama yang sama bisa berbeda pandangannya. Misalnya terkait amaliyah ubudiyah, dan sejenisnya,” sebut LHS.

LHS berpandangan, ajaran furuiyah ini tidak semestinya dibawa ke ranah politik. Sebab, politik itu menata kehidupan dan konsensus bersama di tengah keragamaan. Sehingga harus menggunakan nilai yang disepakati bersama.

“Nilai islam yang harus dibawa ke politik adalah ajaran universal. Misal, jangan korupsi, jangan rendahkan mabusia, jangan lakukan kekerasan, jangan merusak. Pesan kuatnya adalah membangun kemaslahatan bersama,” tegasnya.

LHS mengapresiasi buku Prof Quraish karena berhasil menjelaskan kesalahpahaman terkait Islam dan Politik, serta mendudukkannya secara proporsional, mana yang boleh dibawa ke ruang publik dan tidak.

“Dalam konteks Indonesia, identitas yang merekatkan kita adalah Pancasila. Itulah identitas kebangsaan kita di tengah keragaman. Maka itu yang harus diusung sebagai identitas kita di ranah politik,” ujar LHS.

“Buku ini berani, mencerahkan dan menggugah. Buku ini hadir dalam momentum yang pas. terbit saat orang banyak memerlukan pencerahan politik yang berkeadaban,” tandasnya.

Loading…